Semarang-tp.fpp.undip.ac.id – Rapat koordinasi yang diselenggarakan di Hotel PO Semarang (2/9) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan topik “Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) serta Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Berkelanjutan Berbasis Sosial Marketing Digital” dengan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan dari kementerian, dinas terkait, akademisi, serta komunitas peduli lingkungan.
Dalam pembukaan, oleh Ir. Dyah Murtiningsih, M.Hum, sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (BPTH) Wilayah II, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam pengelolaan lahan hasil hutan. Rehabilitasi yang dilakukan harus memastikan bahwa lahan tetap produktif tanpa menambah emisi karbon, dengan fokus pada penanaman tanaman non-rotasi yang tidak boleh ditebang.
Widiarto, selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup, memberikan sambutan yang menyoroti peningkatan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis di wilayah Serayu Opak. Menurutnya, luas tutupan hutan rakyat di Jawa Tengah menunjukkan peningkatan hingga 745 ribu hektar, yang mencakup 29,2% dari total luas daratan. Namun, tutupan hutan negara yang hanya mencapai 19% atau sekitar 650 ribu hektar masih jauh dari target ideal. Ia juga berharap agar kebijakan tata kelola hutan dapat ditingkatkan agar berdampak positif bagi masyarakat, terutama melalui pengembangan program unggulan di daerah.
Sri Handayaningsih, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS KLHK, menyampaikan bahwa masih terdapat lahan kritis seluas 12,7 juta hektar di Indonesia, dengan 7,5 juta hektar berada di dalam kawasan hutan dan 5,3 juta hektar berada di luar kawasan hutan. Keberhasilan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) masih belum optimal, dengan rata-rata keberhasilan hanya mencapai 75% dan cenderung menurun. Oleh karena itu, diperlukan terobosan kebijakan RHL yang lebih inovatif dan berdampak luas.
Strategi Pembaharuan Tata Kelola RHL
Dalam rapat ini, disampaikan berbagai strategi untuk meningkatkan efektivitas program RHL, termasuk:
• Penguatan regulasi dan kebijakan tata kelola RHL berbasis Social Marketing Digital.
• Penguatan kapasitas SDM petani melalui pelatihan dan pendampingan.
• Pengembangan database RHL HHBK yang akurat dan mudah diakses.
• Penguatan kolaborasi dengan berbagai pihak melalui forum workshop dan FGD.
• Penerapan teknologi pengelolaan hasil HHBK dan pengolahan hasil hutan.
Rapat juga membahas potensi ekonomi dari RHL HHBK yang terus meningkat setiap tahunnya. Contohnya, di Provinsi Lampung, kontribusi ekonomi dari HHBK pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai Rp 554,75 miliar, dengan potensi lebih besar di masa panen raya. Selain itu, komoditas alpukat diperkirakan mampu menghasilkan ekonomi sebesar Rp 4,25 triliun hingga tahun 2031, dengan melibatkan 200 Kelompok Tani Hutan (KTH).
Pada kesempatan ini, turut hadir Dr. Al-Baarri, sebagai Plt. Ketua Departemen Pertanian Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro. Dalam diskusi, beliau menekankan pentingnya integrasi antara sektor peternakan dan pertanian dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Menurutnya, sinergi antara kedua sektor ini dapat memperkuat keberhasilan program RHL dengan memastikan keberlanjutan ekosistem sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendekatan terpadu. Pendekatan ini juga sejalan dengan upaya memperkuat ketahanan pangan dan menjaga keanekaragaman hayati.
Rapat ini menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan berbagai pihak lainnya dalam menjaga keberlanjutan lingkungan melalui rehabilitasi hutan yang berbasis sosial marketing digital. Diharapkan, program ini tidak hanya memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga mendorong perputaran ekonomi yang signifikan di sekitar kawasan hutan, sambil memperhatikan integrasi sektor-sektor lain seperti peternakan dan pertanian untuk hasil yang lebih optimal.

